Jumat, 24 September 2010

Merk dan Paten

Pandangan Yahya Harahap, tentang pidana merk

 

D.    BENTUK TINDAK PIDANA MEREK

Bab XI undang-undang mengatur tentang Ketentuan Pidana di bidang merek. Bab ini terdiri dari pasal 4. Tiga pasal mengatur jenis atau bentuk tindak pidana di bidang merek. Dengan demikian hanya dikenal 3 jenis tindak pidana merek.

1.      TANPA HAK MENGGUNAKAN MEREK YANG SAMA PADA KESELURUHANNYA
Bentuk tindak pidana merek yang pertama dikualifikasi : dengan sengaja tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar merek orang lain. Supaya perbuatan yang dilakukan dapat dikualifikasi tindak pidana yang dikemukakan, harus memenuhi beberapa “unsur” atau “elemen”. Unsur-unsur telah dirumuskan secara rinci dalam Pasal 81 undang-undang. Begitu juga mengenai ancaman pidananya telah ditentukan sekaligus dalam pasal tersebut. Untuk mengetahui satu persatu unsur delik tindak pidana jenis ini, mari kita lihat rumusan Pasal 81 undnag-undang, yang berbunyi :

“Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik orang lain atau badan hukum lain untuk barang dan jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana paling lama tujuh tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00”

Bertitik tolak dari bunyi pasal di atas, agar tindakan dapat dikualifikasi tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik orang lain, harus dipenuhi unsur-unsur berikut.

(a)   Subjek Pelaku : Setiap Orang
Pelaku yang dapat dituntut pertanggung jawaban pidana dalam tindak pidana merek tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar merek orang lain, adalah “setiap orang”. Jadi siapa saja yang menjadi subjek delik Pasal 81 undang-undang.

Akan tetapi unsur ini bisa menimbulkan permasalahan pada subjek yang bersifat “manusia” dalam pengertian “perorangan” atau “physical person “? Apakah tidak tercakup ke dalamnya pengertian “badan hukum” atau “legal person”? Misalnya, sebuah PT. (Perseroan Terbatas) tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik orang. Apakah PT. tersebut tidak dapat dituntut menjadi subjek tindak pidana merek berdasar Pasal 81 undang-undang ?.

Jika membaca rumusan Pasal 81 itu sendiri, badan hukum tidak termasuk subjek pelaku. Sebab yang dapat jadi pelaku hanya “orang” (setiap orang). Sedang badan hukum, bukan orang. Kalau begitu badan hukum tidak dapat dituntut pertanggung jawaban  pidana meskipun telah melanggar Pasal 81 undan-undang. Jika demikian halnya, akan buyar dan hancur usaha penegakam hukum dalam bidang merek.  Percuma Undang-undang No. 19 Tahun 1992 mengatur ketentuan pidana pada Bab XI. Oleh karena itu, meskipun Pasal 81 undnag-undang menyebut subjek pelaku adalah orang, harus ditafsirkan meliputi badan hukum :
·         Badan hukum dapat dituntut sebagai pelaku tindak pidana merek, sehingga kepadanya dapat dituntu pertanggung jawaban pidana (crime liability) dalam bentuk “tanggung jawab pidana korporasi” atau “corporate crime liability”,
·         Sesuai dengan teori fungsinal korporasi (badan hukum), yang di kenakan untuk memikul tanggung jawab pidana korporasi adalah :
a.       Para pengurus atau “board of director”
b.      Bahkan juga termasuk pemegang saham mayoritas, meskipun dia tidak termasuk pengurus

Bahkan dalam tindak pidana merek, dapat ditegakkan tanggung jawab korporasi kepada para pengurus atas perbuatan yang dilakukan pegawai atau petugas korporasi berdasar asa “vicarious liability”. Tindak pidana merek yang dilakukan pegawai atau petugas korporasi, tidak hanya dikenakan tanggung jawabnya kepada pejabat yang bersangkutan, tetapi meliputi diri para pengurus dan pemegang saham mayoritas, apabila terbukti tindakan itu dilakukanya untuk dan atas nama untuk kepentingan korporasi serta hal itu dilakukannya dalam kerangka pelaksanaan tugas yang dilimpahkan korporasi kepadanya.

(b)   Unsur mens rea : Dengan Sengaja
Unsur yang kedua berkenaan dengan “means rea” yakni elemen delik yang berkenaan dengan “kesalahan” (a guilty). Pada diri pelaku ada “kehendak” (purpose). Tingkat kesalahan yang menyangkut dengan kehendak pelaku dalam melakukan tindak pidana merek yang dirumuskan Pasal 81 undang-undang adalah “dengan sengaja” atau “intentional”. Dengan kehendak yang sadar “sengaja” melakukan tindak pidana merek yang dilarang Pasal 81 undang-undang. Pelaku sengaja melakukan pemalsuan merek terdaftar milik orang lain. Atau dengan penuh kesadaran dan kehendak bebas, “sengaja” memalsu, meniru, meng-copy maupun memproduksi merek terdaftar milik orang lain. Bisa juga dikatakan, pelaku dengan “willfully” (dengan penuh kehendak bebas) sengaja terang-terangan menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik orang lain. Dalam praktek peradilan Amerika disebut “willful blindness”, yang berarti dengan sengaja dan mengetahui dengan penuh (knowledge enough) atas perbuatan tindak pidana merek yang dilakukan. Atau merek sebut juga “willful infrigement”. Dengan sengaja melakukan pelanggaran pemalsuan merek.

Dalam pengkajian hukum pidana, unsur “mens rea” yang berbentuk “sengaja” atau “intentional”, dibedakan dengan unsur mens rea yang berbentuk “kelalaian”, pembuat undang-undang telah menentukan sendiri unsur Pasal 81 undang-undang : “dengan sengaja”, bukan kelalaian. Dengan demikian, agar seorang pelaku dapat dikualifikasi melakukan tindak pidana merek yang dirumuskan Pasal 81 undang-undang, pada diri pelaku harus melekat unsur sengaja. Proses diri pelaku. Apabila hal ini tidak dapat dibuktikan, tidak teroenuhi unsur “mens rea” atas pelanggaran Pasal 81 undang-undang.

Oleh karena Pasal 81 undang-undang sendiri menentukan unsur mens rea berbentuk kesengajaan, terhadap pasal ini tidak dapat diterapkan “tangung jawab pidana mutlak” yang dikenal dengan sebutan “strict criminal liability” yakni tangung jawab pidana tanpa “kesalahan” (liability without default). Artinya, kepada pelaku tindak pidana merek Pasal 81 undang-undang , tidak dapat dijatuhi pidana apabila tidak dapat dibuktikan adanya kehendak dengan sengaja melakukan tindak pidana merek yang bersangkutan.

Sudah barang tentu, akan lebih mudah membuktikan tentang adanya unsur sengaja pada diri terdakwa apabila dalam perkara pembatalan merek atau tuntutan  ganti rugi telah terbukti melakukan pemalsuan merek penggugat dengan itikad tidak baik. Sekiranya putusan tentang hal itu telah mempunyai kekuatan hokum tetap, putusan tersebut dapat dipergunakan sebagai alat bukti dalam perkara pidana merek untuk membuktikan adanya unsur sengaja pada diri terdakwa. Atau sebaliknya. Seandainya putusan pidana atas pelangaran Pasal 81 undang-undang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dapat dipergunakan sebagai alat bukti dalam proses gugatan pembatalan atau ganti rugi, untuk membutikan adanya itikad baik pada diri penggugat.

(c)    Unsur Melawan Hukum : Tanpa Hak
Unsur ketiga yang harus dipenuhi adalah unsur melawan hukum. Pada perbuatan yang dilakukan pelaku harus ada unsur melawan hukum berupa “tanpa hak”. Pelaku menggunakan merek tersebut “tanpa hak” atau unauthorized use” Meskipun terbukti unsur sengaja menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik orang lain, perbuatan tidak melanggar delik pidana Pasal 81 undang-undang, jika hal itu dilakukan terdakwa dengan “hak yang sah”. Seperti penggunaan dilakukan dengan hak yang sah berdsar perjanjian lisensi. Pelaku dalam penggunaan yang demikian memiliki “otoritas” (authorized).

Pada umumnya, dalam tindak pidana yang mengandung unsur perbuatan melawan hukum yang berbentuk “tanpa hak” selalu berkaitan dengan hak milik. Barang atau hak milik yang diambil atau digunakan pelaku tindak pidana adalah kepunyaan orang lain. Dan hanya pemilik sendiri yang berhak untuk menikmati. Tanpa izin pemilik, berarti pelaku telah menggunakan secara tanpa hak atau “unauthorized use”. Demikian kira-kira konstruksi pengertian unsur tanpa hak (without authority) yang diatur dalam Pasal 81 undang-undang.

(d)   Unsur actus reus : Menggunakan
Makna unsur “actus reusadalah aspek tindakan fisik perbuatan pidana (the physical aspect of crime). Actus reus tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 81 undang-undang : “menggunakan merek”.
·         Untuk barang atau jasa
·         Baik dalam produksi dan atau perdagangan

Jadi agar tindak pidana merek yang diatur Pasal 81 undang-undang dapat diancam dengan pemidanaan, pelaku harus “menggunakan” merek tersebut pada barang atau jasa dalam kegiatan produksi dan atau perdagangan. Memang tujuan mereka pun adalah untuk digunakan pelaku untuk barang atau jasa dalam kegiatan produksi atau perdagangan tidak terpenuhi unsur delik. Misalnya, si A meng-copy atau memproduksi merek si B yang sudah terdaftar. Lantas si A mengajukan permintaan pendaftaran, tetapi belum digunakan untuk barang atau jasa dalam kegiatan produksi atau perdagangan. Tindakan si A tersebut belum memenuhi unsur actus reus yang ditentukan Pasal 81 undang-undang. Kalau begitu, pada prinsipnya, selama ada kegiatan memproduksi atau memperdagangkan barang atau jasa yang menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik orang lain, belum terpenuhi salah satu unsur delik.  Pelaku belum dapat dipikulkan tanggung jawab pidana.



(e)    Unsur Konstitutif Bidang Merek : Sama Pada Keseluruhannya Dengan Merek Terdaftar Milik Orang Lain
Unsur pokok atau elemen konstitutif bidang merej yang melahirkan terjadinya tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 81 undang-undang :
a.       Sama pada keseluruhannya
b.      Dengan merek terdaftar milik orang lain
c.       Barang atau jasa sejenis

ad.a. sama pada keseluruhannya
Dalam hal ini, harus terkandung persamaan yang menyeluruh antara merek yang digunakan pelaku dengan merek orang lain yang sudah terdaftar. Definisi umum atas pengertian mempunyai persamaan secara keseluruhan (entireties similar) ; adalah peniruan (imitation) meng-copy atau memproduksi secara bulat dan utuh merek orang lain serta berbarengan dengan itu sekaligus terdapat persamaan yang persis mengenai :
(1)         Jenis barang atau jasa,
(2)         Kelas barang,
(3)         Persamaan bahan barang (rwa material),
(4)         Persamaan desain,
(5)         Persamaan penggunaan dan pemeliharaan,
(6)         Persamaan proses produksi,
(7)         Persmaan persaingan dan segmen pasar
(8)         Sama jalur pemasaran
Namun demikian, tidak perlu semua faktor tersebut terpenuhi. Faktor yang paling menentukan adalah persamaan logo, gambar, tulisan atau bunyi dan kelas barang, kegunaan serta jalur pemasaran. Apabila faktor-faktor  ini terpenuhi sudah terwujud persamaan yang menyeluruh.
Tentang pengertian mempunyai persamaan secara keseluruhan sudah dibahas dalam bab merek yang mengandung persamaan. Oleh karena itu tidak lagi diulang membicarakannya pada bagian ini. Apa-apa yang telah dijelaskan dalam bab tersebut, dapat diterapkan sepenuhnya pada tindak pidana merek yang dirumuskan Pasal 81 undang-undang.

ab.b. dengan merek terdaftar milik orang lain
Unsur konstitutif kedua ; merek yang digunakan pelaku mempunyai persamaan secara keseluruhan dengan merek orang lain yang “sudah terdaftar” dalam DUM (registered) dengan yang “tidak terdaftar” (unregistered) :
·         Merek yang dilindungi dalam tindak pidana merek hanya merek yang sudah terdaftar
·         Sedang yang belum terdaftar, tidak dilindungi
Hal ini sejalan dengan prinsip konstitutif Pasal 3 undang-undang, serta perlindungan umum yang digariskan Pasal 7 undang-undang. Hanya kepada merek yang sudah terdaftar, negara perlindungan hukum yang diberikan kepada pemilik merek yang sudah terdaftar. Prinsip umum ini ditegakkan dalam tindak pidana merek, sehingga dijadikan menjadi salah satu unsur delik. Merek yang ditiru atau dipalsu pelaku harus merek orang lain yang sudah terdaftar dalam DUM. 

Kalau merek-merek milik orang lain yang ditiru atau dipalsu belum terdaftar dalam DUM penggunaan yang dilakukan pelaku baik dalam produksi dan atau perdagangan, tidak menimbulkan tindak pidana merek yag dirumuskan dalam Pasal 81 undang-undang. Ketentuan ini terasa kurang etis dan tidak adil.  Sebab sesuai dengan etika dunia bisnis dalam perdagangan bebas, harus ditegakkan orde persaingan jujur. Meniru atau membajak mereka orang lain, pada dasarnya adalah perbuatan curang, dan secara itikad tidak baik bertujuan untuk memperoleh keuntungan secara tidak jujur. Oleh karena perbuatan yang seperti itu curang, semestinya tidak perlu dipesoalkan apakah yang ditiru dan dibajak sudah terdaftar atau  tidak. Kritik yang seperti itu, muncul juga di Amerika. Dianggap kurang layak memberi perlindungan yang berbeda kepada pemilik merek yang sudah terdaftar (registered) dan yang tidak terdaftar (unregistered), hanya atas alas an untuk mendorong masyarakat mendaftarkan merek yang dimilikinya. Yang dianggap proporsional, setiap pembajakan atau peniruan mereka harus dinyatakan curang dan salah tanpa membedakan apakah yang dibajak itu sudah terdaftar atau tidak. Yang dapat dibedakan hanya jumlah ganti rugi atau ancaman pidananya. Jika merek yang ditiru atau dibajak sudah terdaftar, ganti rugi atau ancaman pidannya diperbesar dan diperberat disbanding dengan peniruan atau pembajakan terhadap merek yang belum terdaftar. Pendapat sangat rasional untuk menegakkan ketertiban umum dalam persaingan bebas. Sebab perbuatan curang yang dilakukan orang yang beritikad tidak baik. Penerapan yang demikian pada dasarnya, tidak menghalangi pemantapan prinsip konsititutif.

Akan tetapi terlepas dari kritik yang dikemukakan, tampaknya pembuat undang-undang sejak semula barangkali sudah menentukan sikap yang tegas. Hanya akan memberi perlindungan hukum kepada pemilik merek yang sudah terdaftar sesuai dengan asas konstitutif. Oleh karena itu, baik dalam gugat pembatalan maupun gugatan ganti rugi serta dalam tindak pidana merek, secara mutlak berpendirian hanya memberi perlindungan kepada pemilik merek yang sudah terdaftar. Dengan demikian dalam penegakan hokum tindak pidana mereka, hanya dapat diterapkan terhadap merek yang sudah terdaftar saja.

Apakah pengertian terdaftar meliputi “filling date”?. Tentang hal ini sudah dibahas pada bab lingkup sistem konstitutif dan hak eksklusif. Jika bertitik tolak dari ketentuan Pasal 3 undang-undang, pengertian merek terdaftar adalah merek yang sudah terdaftar dalam DUM. Namun kalau merujuk pada ketentuan Pasal 7 undang-undang, pemberian perlindungan hukum terhitung sejak tanggal filing date (penerimaan permintaan pendaftaran). Sehubungan dengan itu, dalam penerapan tindak pidana merek dikaitkan dengan unsur merek terdaftar milik orang lain, barangkali lebih tepat mempedomani ketentuan Pasal 7 undang-undang.

ad.c. barang atau jasa sejenis
Unsur  konstitutif yang ketiga adalah “sejenis”. Bisa juga dipergunakan istilah “the same generic” Selain terdapat persamaan secara menyeluruh pada bentuk, komposisi, kombinasi, elemen, bunyi huruf pada merek serta terdapat pula bersamaan secara keseluruhan pada bahan baku, proses produksi, pemakaian dan pemeliharaan serta persaingan dan jalur pemasaran, harus pula terdapat persamaan jenis barang atau jasa. Baru tindak pidana yang dilakukan dapat dikualifikasi dengan sengaja tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik orang lain.

Sebenarnya, kalau beranjak dari teori dan praktek, pengertian memiliki persamaan secara keseluruhan atau “entireties similar” sudah insklusif meliputi factor “sejenis” (same generic). Barang atau jasa yang diproduksi dan diperdagangkan benar-benar sama jenisnya. Oleh karena itu, meskipun antara kedua merek terdapat persamaan logo, warna,kata, bunyi maupun jalur persamaan dan segmen pemasaran, dianggap tidak terwujud persamaan secara keseluruhan jika barang atau jasa yang diproduksi dan diperdagangkan “tidak sejenis”. Dalam kasus yang seperti itu harus ditegakkan asas ”presumption of dissimilarity”(dianggap tidak sama) seperti yang sudah pernah dikemukakan dalam sengketa ini MA mengemukakan pendapat : “suatu merek baru dapat dinyatakan mengantung persamaan secara keseluruhan apabila barang yang dilindungi sejenis” (mengenai pengertian persamaan merek, lihat kembali bab yang membahas MEREK YANG MENGANDUNG PERSAMAAN).

Jadi untuk memidana seorang pelaku berdasar Pasal 81 undang-undang, harus terpenuhi unsur delik “sejenis”. Barang atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan pemilik merek terdaftar yang ditiru atau dibajaknya. Aparat penegak hukum harus hati-hati jika hendak menjerat pelaku berdasar Pasal 81 undang-undang. Mesti cermat meneliti, apakah sungguh-sungguh terpenuhi unsur “sejenis”. Barang atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan pemilik merek terdaftar yang ditiru atau dibajaknya,. Aparat penegak hukum harus hati-hati jika hendak menjerat pelaku berdasar Pasal 81 undang-undang. Mesti cermat meneliti, apakah sungguh-sungguh terpenuhi unsur “sejenis”. Pada hakikatnya, tidak sulit meneliti unsur ini. Baik dari segi pandangan awam maupun dari pendekatan teori dan praktek, suatu barang atau jasa disebut sejenis apabila secara lahir terkandung persamaan :
·         fungsi (function)
·         kegunaan (beneficialy)
·         pemakaian (use) atau peruntukan (purpose)
Ketiga faktor ini merupakan patokan pokok menentukan adanya persamaan jenis (same generic). Apabila ketiga faktor di atas terpenuhi, terwujud persamaan karakteristik pada barang atau jasa  tanpa mempersoalkan lebih lanjut faktor persamaan prosesing, pemeliharaan dan bahan baku (raw material). Ketiga faktor tersebut sudah dapat mencipta sifat “identik” (identical) dan “kesamaan” (equal) spesies maupun karakteristik barang atau jasa. Sedang kesamaan bahan baku pada saat sekarang, tidak dianggap factor determinan mewujudkan persamaan jenis. Sebab pada saat sekarang, bahan yang berasal dari alam sudah banyak yang disubstitusi dengan bahan sintesis.

Memang agar komplit terwujud persamaan barang atau jasa secara menyeluruh, harus mencakup faktor  persamaan fungsi, kegunaan, peruntukan prosessing, pemeliharaan dan bahan baku. Akan tetapi untuk memenuhi unsur delik pidana Pasal 81 undang-undang, tidak dituntut keindetikan spesies yang bersifat total. Yang dibutuhkan, cukup persamaan jenis yang “minimal” berupa persamaan fungsi, kegunaan dan pemakaian. Karena yang lebih diutamakan dalam menentukan persamaan jenis suatu barang atau jasa, bukan bersandar pada factor prosesing atau assembling maupun bahan baku. Tetapi lebih dititik beratkan pada persamaan karakteristik. Dalam pengkajian merek, persamaan karakter barang atau jasa, dianggap telah mencipta sifat keidentikan peran jenis, tidak mutlak mesti sama “spesiesnya”. Tetapi dapat dkontruksi “related good or service”. Kalau begitu pengertian persamaan berdasar prinsip “related good or service”. Atau dapat dikembangkan ke arah pengertian “barang yang hampir sama” (in respect of the same or similar goods). Atau bisa juga dikemukakan asas “different but related goods” (jenis barang berbeda, tapi saling berkaitan).

(f)    Ancaman Pidana
Berdasar Pasal 81 undang-undang ancaman pidana terhadap perbuatan menggunakan merek yang sama pada keseluruhan secara tanpa hak, dikenakan pemidanaan kumulatif :
(1)         dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun
(2)         dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00

Kalau begitu, kepada pengadilan tidak diberikan pilihan untuk menghukum terdakwa berupa pidana penjara “atau” denda. Pasal 81 undang-undang secara “imperatif” mewajibkan hakim sekaligus menghukum terdakwa berupa pidana “penjara” dan “denda”. Undang-undang tidak membenarkan pemidanaan yang bersifat “alternatif” maupun yang bercorak tunggal, hanya pidana penjara atau denda. Harus digabung secara berbarengan antara pidana penjara dengan denda. Penggabungan hukuman ini, dianggap daya efektif yang preventif menanggulangi epidemi peniruan atau pembajakan merek di masa yang akan datang. Sudah barang tentu dengan syarat, penerapannya benar-benar dilaksanakan oleh para hakim.

Penerapan pemidanaan yang dianggap berdayaguna mencapai tujuan korektif, edukatif, preventif dan represif dalam pembinaan merek yang sehat, sedapat mungkin jangan terlampau boros melakukan pendekatan doktrin “mitigation” yakni menjatuhkan hukuman yang “terlampau ringan” ke arah titik batas ancaman “minimum”. Praktek yang memperingan hukuman atas alas an sopan dan berperilaku baik selama proses persidangan, jangan dipergunakan secara generalisasi untuk meringankan hukuman atas alasan sopan dan  berperilaku baik selama proses persidangan, jangan dipergunakan secara generalisasi untuk meringankan hukuman.l pendekatan “mitigation” yang seperti itu, tidak efektif preventif dan represif. Lain halnya kalau ada alasan yang sangat khusus (particular circumstances), tidak dilarang berpegang pada doktrin mitigation.

Kalau begitu, agar pemindanaan mampu menjadi sarana korektif, edukatif, preventif dan represif, kita menghimbau pengadilan agar lebih cenderung melakukan pendekatan pemindanaan berdasar doktrin “aggravation” Memperberat hukuman yang dijatuhkan ke arah titik batas ancaman “maksimum”. Apalagi dalam tindak pidana penggunaan merek yang sama pada keseluruhan dengan merek terdaftar milik orang lain secara melawan hak, diperkirakan menimbulkan akibat kerugian yang sangat luas terhadap pemilik asli maupun terhadap pemilik asli maupun terhdap masyarakat luas. Sangat beralasan untuk menjatuhkan pemindanaan melalui pendekatan ajaran “aggravation”.

2.      TANPA HAK MENGGUNAKAN MEREK YANG SAMA PADA POKOKNYA
Bentuk tindak pidana yang kedua, diatur dalam Pasal 82 undang-undang yang berbunyi :
“Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik orang lain atau badan hukum lain, untuk barang atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan. Dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00”.

Ketentuan pidana yang dirumuskan Pasal 82, hampir sama unsur deliknya dengan tindak pidana yang diatur Pasal 81 undang-undang. Tidak ada perbedaan unsur sepanjang mengenai :
(1)   subjek pelaku : setiap orang
(2)   unsure mens rea : dengan sengaja
(3)   unsure melawan hokum : tanpa hak
(4)   unsure actus reus : menggunakan (dalam produksi dan atau perdagangan)

Hanya pada unsure konstitutif bidang merek terdapat perbedaan tetapi bukan seluruhnya, hanya satu saja yang berbeda. Pada tindak pidana Pasal 81 undang-undang, unsur konstitutif terdiri dari :
·         sama pada keseluruhannya
·         dengan merek orang lain yang sudah terdaftar
·         barang atau jasa sejenis,

maka pada tindak pidana yang diatur Pasal 82 undang-undang unsur konstitutif bidang mereknya terdiri dari :
  • sama “pada pokoknya”,
  • dengan merek orang lain yang sudah terdaftar
  • barang atau jasa sejenis
Dapat dilihat, hanya satu unsur saja yang berbeda. Unsur konstitutif bidang merek pada Pasal 81 undang-undang “terdapat persamaan pada keseluruhannya”. Sebaliknya, pada Pasal 82 undang-undang : “terdapat persamaan pada pokoknya”. Sehubungan dengan itu, sepanjang mengenai unsur yang sama dengan ketentuan Pasal 81 undang-undang tidak perlu dibahas lagi. Dapat dipedomani uraian yang dikemukakan pada pembahasan Pasal 81 undang-undang. Oleh karena itu yang perlu dibahas hanya sepanjang mengenai unsur : sama pada pokoknya.

Sebenarnya, mengenai pengertian sama pada pokoknya sudah dibahas pada bab MEREK YANG MENGANDUNG PERSAMAAN. Apa yang diuraikan pada bab tersebut, dapat dipedomani pada penerapan tindak pidana yang ditentukan Pasal 82 undang-undang. Sebagaimana yang sudah dijelaskan, suatu merek dianggap mempunyai persamaan pada pokoknya, apabila terdapat persamaan yang “hampir identik” (Identical with) atau “nearly resembles” (sangat mirip). Disebut juga likelihood of confusion”. Mengandung persamaan yang membingungkan. Meliputi persamaan yang membingungkan :
·         dalam penampilan (in apperance),
·         dalam bunyi (in sound),
·         dalam konotasi (in connotation),
·         dalam kesan(in impression)
·         persamaan dalam asosiasi (in association)

kira-kira demikian patokan menentukan pengertian unsur persamaan pada pokoknya. Pada prinsipnya, terdapat kemiripan yang sangat dekat (very nearly resembles) mauun terdapat persamaan asosiasi atau persamaan gambar. Sehingga antara merek yang satu dengan yang lain seolah-olah tidak memiliki “daya pembeda” (distinctive power). Kesannya dalam perdagangan hampir sama dan benar-benar membingungkan. Atau mendatangkan kebingungan yang nyata (actual confusion) kepda khayalak ramai. Sedemikian rupa kemiripan yang melekat pada merek yang digunakan pelaku dengan merek terdaftar milik orang lain, mengakibatkan dapat menyesatkan konsumen (misleading), karena sulit membedakan mana merek yang asli dan yang tidak asli.

Dalam praktek banyak yang mengunakan patokan ”misleading customer perception in the market place”. Artinya apabila mereka yang digunakan pelaku menimbulkan persepsi yang menyesatkan persamaan pada pokoknya. Tidak dituntut peniruan atau pembajakan yang bersifat reproduksi atau meng-copy secara utuh dan menyeluruh. Persamaan penampilan, bunyi, lukisan, konotasi, asosiasi, dan kesan yang dianggap memenuhi unsur delik persamaan pada pokoknya. Dengan demikian pelaku sudah dapat dipidana berdasar Pasal 82 undang-undang.

Perbedaan kedua antara delik pidana Pasal 81 dengan Pasal 82 adalah mengenai ancaman pidana. Meskipun sistem pemidanaan sama-sama berbentuk kumulasi antara pidana “penjara” dengan “denda” namun ancaman pidananya berbeda. Ancaman pidana atas tindak pidana Pasal 82, lebih ringan disbanding dengan Pasal 81 :
  • maksimum ancaman pidana pencajaranya 5 tahun, dan
  • maksimum denda Rp. 50.000.000,00

Perbedaan ini didasarkan pada alasan, pada tindak pidana Pasal 81, peniruan atau pembajakan dianggap kasar dan terang-terangan. Tindakan dilakukan dengan penuh kesadaran dan pengetahuan, meniru atau membajak secara kasar dan terang-terangan merek orang sebagaimana aslinya. Sebaliknya pada tindak pidana Pasal 82, pelaku tidak memproduksi atau meng-copy secara membabi buta, tapi dengan sengaja membonceng di atas merek orang lain secara halus, sehingga hal itu dijadikan alasan untuk memberi ancaman pidana yang lebih ringan. Namun demikian, sekali lagi dihimbau, agar penerapan ancaman pidana ini berdaya guna mencipta kondisi yang bernilai korektif,edukatif, preventif dan represif. Pengadilan sepatutnya lebih cenderung menegakkan pendekatan “aggravation” (Pemidanaan yang lebih keras). Jangan terlampau boros berpijak pada pendekatan pemidanaan berdasar ajaran “mitgation” (pemindanaan ringan ke arah titik batas minimum.
3.            MEMPERDAGANGKAN BARANG ATAU JASA YANG DIKETAHUI MENGGUNAKAN MEREK TERDAFTAR MILIK ORANG LAIN TANPA HAK
Bentuk tindak pidana merek yang ketiga diatur dalam pasal 84 undang-undang yang berbunyi :
“Setiap orang yang memperdagangkan barang atau jasa yang diketahui atau patut diketahui barang atau jasa tersebut menggunakan merek terdaftar milik orang lain secara tanpa hak, dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 10.000.000,00”.

Pertama-tama, mari kita lihat kualifikasi tindak pidana ini. Menurut hemat kita, kualifikasinya : memperdagangkan barang atau jasa yang diketahui atau patut diketahui mengunakan merek terdaftar milik orang secara tanpa hak. Rumusan ini dianggap memenuhi syarat karena unsure delik pokok sudah tercakup di dalamnya. Barangkali untuk lebih singkat, cukup dirumuskan : memperdagangkan barang artau jasa yang menggunakan merek terdaftar milik orang lain tanpa hak. Tidak perlu dimasukkan perkataan : yang diketahui atau patut diketahui. Dengan rumuskan kualifikasi yang seperti itu, pada akhirnya sudah mencangkup tindak pidana yang diatur Pasal 84 undang-undang.

Selanjutnya mari kita teliti unsure delik yang terkandung dalam Pasal 84 undang-undang.

(a)        Subjek : Setiap Orang
Pelaku tindak pindana meliputi siapo saja. Setiap orang baik secara sendiri-sendiri atau beberapa orang maupun badan hukum, dapat menjadi subjek pelaku tindak pidana ini. Unsur ini sama dengan apa yang dijelaskan pada tindak pidana Pasal 81 dan Pasal 82 undang-undang. Oleh karena itu, tidak perlu lagi dibahas ulang.
(b)       Actus reus : Memperdagangkan Barang Atau Jasa
Perlu diperhatikan, actus reus unsure perbuatan yang disahkan (awrongfull deed) yang dapat dituntut tanggung jawab pidananya kepada pelaku, terbaras pada perbuatan “memperdagangkan” yaitu memperdadangkan menjadi aspek fisik (physical aspect) tindak pidana Pasal 84 undang-undang. Pelaku bukan orang yang melakukan peniruan, pemalsuan atau pembajak merek orang lain. Tetapi terbatas pada perbuatan memperdagangkan barang atas jasa yang menggunakan merek yang dipalsu atau dibajak.

Misalnya si A meniru atau memproduksi merek si B. Kemudian si A menggunakan merek yang dipalsu tadi dalam barang atau jasa-jasa yang diproduksinya. Lantas hasil produksi yang menggunakan merek palsu itu, diserahkan kepada C untuk diperdagangkan. C tidak ikut melakukan penggunaan merek palsu dalam barang. Yang dilakukannya hanya memperdagangkan saja.

Sejauh mana lingkup perbuatan memperdagangkan, harus disesuaikan dengan kondisi perkembangan. Pada saat sekarang bentuk perdagangan bisa meliputi pengiklanan, promosi, menawarkan dalam partai besar maupun dalam bentuk eceran, sehingga pelakunya bisa agen tunggal, distributor atau pengecer. Dalam bentuk konvesional, dikenal perdagangan tukar – menukar (in natura). Begitu juga penyelundupan bisa dianggap sebagai perdagangan. Dalam kasus yang seperti itu, pelaku dapat dituntut dengan dakwaan kumulasi dalam bentuk  “ concursus realis “ sesuai dengan system kumulasi yang diatur pasal 70 KUHP. Berupa concursus realias antara kejahatan
( tindakan pidana penyelundupan ) dengan pindakan pidana pelanggaran. Bukankah pasal 84 (2) undang-undang menegaskan, tindak pindana merek yang diatur dalam pasal 84 (1) adalah pelanggaran? Dakwaan pertama, tindak pidana ekonomi (penyelundupan) berdasarkan undang-undang darurat nomor 17 tahun 1955. Dakwaan kedua; memperdagangkan barang yang menggunakan merek terdaftar milik orang lain. Dengan demikian pemidanaan yang dikenakan kepada pelaku, diterapkan kumulasi “murni”. Masing-masing tindak pidana dijatuhi hukuman tanpa dikurangi.

Apakah merima barang untuk digudangkan termasuk perbuatan memperdagangkan? Jika bertitik tolak dari system perdagangan, dapat ditafsirkan perbuatan memperdagangkan. Apalagi jika pemilik gudang menerima pembayaran sewa serta mengeluarkan surat pergudangan, sudah termasuk memperdagangkan. Lagipula, menggudangkan barang merupakan rangkaian kegiatan perdagangan, dengan demikian cukup dasar untuk mengkonstruksinya sebagai perbuatan memperdagangkan.
(c) Unsur mens rea : diketahui atau patut diketahui
Mengenai unsure pertanggungjawaban pidana yang (element of criminal responsibility) yang diatur dalam pasal 84 (1) undang-undang adalah : “mengetahui” atau “patut mengetahui”. Pelaku mengetahui atau patut mengetahui barang atau jasa yang diperdagangkan menggunakan merek terdaftar milik orang lain “secara tanpa hak”. Namun meskipun dia tahu atau patut mengetahui barang atau jasa yang diperdagangkan menggunakan merek terdaftar milik orang lain secara tanpa hak, pelaku bersedia memperdagangkannya.

Dari pendekatan teori dan praktek, pengertian “mengetahui”  atau  “patut mengetahui” selalu dirangkai dengan perkataan “sengaja”, sehingga unsur ini sering diberi istilah “dan sengaja” dalam system Common Low dipergunakan istilah “knowingly and willfully”. Mengetahui perbuatan yang dilakukan bertentangan dengan peraturan, perundang-undangan yang berlaku, namun demikian dengan sadar dan sengaja perbuatan dilakukan untuk melanggar ketentuan peraturan yang bersangkutan, jadi pelaku, sadar (consiusly) dan mengerti (understand) bahwa barang yang diperdagangkan menggunakan merek terdaftar milik orang lain secara tanpa hak, akan tetapi dia tidak memperdulikan hal itu walaupun sadar perbuatan yang demikian bertentangan dengan peraturan perundang – undangan. Kalau begitu , boleh dikatakan , hamper tidak ada perbedaan antara unsure mens rea ”sengaja” (international) dengan ” mengetahui”. (knowingly). Baik sengaja maupun mengetahui, sama-sama mengandung “kehendak”(purpose). Untuk melakukan perbuatan maupuian akibat yang timbul dari perbuatan. Kesadaran akal pelaku baik pada sengaja maupun mengetahui sama-sama ditujukan untuk melakukan perbuatan yang melanggar hukum.

Akan tetapi meskipun batas antara sengaja dengan megetahui sangat tipis, dalam pengkajian dan penerapan hukum perlu dilakukan analisis mengenai elemen pertanggung jawaban pidana mengetahui atau patut mengetahui. Maksudnya, pengadilan  perlu mempertimbangkan dan menilai sejauh mana kadar pengetahuan pelaku atas perbuatan pelanggaran yang dilakukannya. Jika masalah kadar pengetahuan itu dikaitkan dengan tindak pidana merek yang diatur dalam pasal 84 (1) undang-undang, pengadilan perlu mempertimbangkan dan menilai sejauh mana kesadaran dan pengetahuan terdakwa tentang barang yang diperdagangkannya menggunakan merek terdaftar milik orang lain secara tanpa hak. Untuk menilai kadar pengetahuan terdakwa dalam tindak pidana ini, pengadilan dapat mempergunakan klasifikasi berikut :
(1)   constructive knowledge (pengetahuan konstruktif)
jika terdakwa secara wajar dan hati-hati mengamati dan memeriksa dokumen yang ada – seperti pendaftaran merek dalam DUM -, pasti akan ditemukan pengetahuan yang konstruktif tentang fakta, bahwa barang atau jasa yang diperdagangkan menggunakan           Merek terdaftar milik orang lain. Merupakan kewajiban hukum bagi terdakwa untuk meneliti dalam daftar umum – dalam hal ini DUM -, jika dia ragu apakah barang atau jasa yang hendak diperdagangkan menggunakan merek terdaftar milik orang lain, guna memeperoleh pengetahuan konstruktif. Apabila hal itu tidak dilakukannya, terdakwa dianggap mengetahui atau patut dianggap mengetahui barang yang diperdagangkann menggunakan merek terdaftar milik orang lain secara tanpa hak, karena dalam keadaan yang seperti itu terdakwa sengaja melakukan pengetahuan destruktif (destructive knowledge) yaitu tidak perduli apakah merek yang dipergunakan pada barang atau jasa yang diperdagangkan menggunakan merek milik orang lain yang sudah terdaftar.

(2) Actual knowledge (pengetahuan nyata)
Pengetahuan nyata (actual knowledge) disebut juga “Pengetahuan positif” (pocitive knowledge). Secara yuridis seorang terdakwa dinyatakan memiliki pengetahuan nyata atas pelanggaran tindak pidana, apabila berdasar “informasi” yang diterima atau disampaikan kepadanya secara jelas dan tegas diberitahu bahwa barang atau jasa yang hendak diperdagangkan menggunakan merekterdaftar milik orang lain secara tanpa hak. Dalam hal yang sepert itu sangat beralasan bagi terdakwa untuk menanya dan memeriksa lebih lanjut kebenaran informasi tersebut. Jika terdakwa lalai atau sengaja mengabaikan pemeriksaan lanjut atas kebenaran informasi yang diterimanya dan terus memperdagangkan barang atau jasa yang bersangkutan, pada diri terdakwa terbukti ada unsur pengetahuan nyata melanggar ketentuan Pasal 84.
(1)         Undang-undang
Sebenarnya terdapat perbedaan antara pengetahuan nyata dengan pengetahuan positif. Kalau informasi itu diperoleh terdakwa dari orang lain, disebut pengetahuan nyata. Sedang apabila informasi diperoleh terdakwa langsung dari pemilik barang atau jasa, derajat pengetahuan terdakwa bernilai sebagai “pengetahuan positif” sehingga wajar untuk menjatuhkan hukuman yang lebih berat kepadanya. 


(3) Imputed knowledge (pengetahuan yang bertalian)
Dalam hal terbuka jalan dan kesempatan bagi terdakwa untuk menanya informasi atau memeriksa dokumen, tetapi hal itu tidak dilakukannya. Maka pada diri terdakwa dianggap terbukti unsur patut mengetahui bahwa barang atau jasa yang diperdagangkan merek terdaftar milik orang lain secara tanpa hak.

(4) pengetahuan berdasar persepsi
Bentuk atau kadar pengetahuan ini disebut “knowledge consist perception”. Maksudnya pelaku memiliki pengetahuan berisi persepsi tentang kebenaran atau ketidakbenaran. Pelaku berada dalam keadaan ragu, apakah benar atau tidak barang yang hendak diperdagangkan menggunakan merek terdaftar milik orang lain secara tanpa hak. Namun keraguan itu tidak diperdulikan, dan terus memperdagangkannya. Dalam kasus yang seperti ini dianggap terpenuhi unsur mengetahui atau patut mengetahui dalam bentuk pengetahuan yang mengadung persepsi atas kebenaran bahwa betul barang yang diperdagangkan menggunakan merek terdaftar milik orang lain.

Sikap terdakwa seperti ini dapat digolongkan kepada “Active negligence” (kelalaian aktif) yang hampir sama derajatnya dengan melakukan kejahatan (willful wrongdoing).

Demikian kira-kira pedoman menentukan kadar pengetahuan terdakwa dalam tindak pidana pada umumnya, dalam tidak pidana merek yang dirumuskan Pasal 84 undang-undang pada khususnya. Perlu diingat, jangkauan unsur pengetahuan dalam tindak pidana ini, ditentukan kepada barang atau jasa yang diperdagangkan diketahui terdakwa menggunakan Kan merek terdaftar mlik orang lain, dan penggunaan itu dilakukan secara tanpa hak.

(d)                           Ancaman Pidana : Bersifat Alternatif
Kalau begitu tindak pidana merek yang diatur dalam pasal 81 dan pasal 82 undang-undang, diancam dengan pemidaan “kumulatif”, maka pada tindakpidana pasal 84 (1) undang-undang, ancaman tindak pidananya bersifat “alternatif” :
a.                               maksimum 1 tahun “kurungan”, atau
b.                              denda maksimum Rp 10.000.000,00.
Dengan demikian hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman apa yang hendak dijatuhkan kepada terdakwa. Boleh menjatuhkan pidana “kurungan”. Dapat pula menjatuhkan hukuman “denda”.

Selain dari pada itu, terdapat perbedaan jenis pidana antara pasal  81 dan pasal 82 dengan pasal 84. menurut penegasan pasal 83 undang-undang, tindak pidana  merek yang dirumuskan pada Pasal 81 dan Pasal 82 dogolongkan tindak pidana “ kejahatan “. Sebaliknya, tindak pidana yang diatur dalam pasal 84 (1), dogolongkan tindak pidana “ pelanggaran “. Hal itu ditegaskan dalam pasal 84 (2) undang-undang.
  











1 komentar: